Penulis: Naila Rohmatin | Editor: Sukma Mardiyah
Sekilas Info Malaria
Malaria merupakan
penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hidup dan
berkembang biak dalam sel darah merah manusia yang ditularkan oleh nyamuk
malaria (Anopheles betina). Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO),
secara global estimasi kematian yang diakibatkan oleh penyakit malaria pada
tahun 2010 adalah 655.000 kasus malaria di seluruh dunia. Selain itu, tercatat
86% kematian terjadi pada anak di bawah umur 5 tahun. Alokasi dana dari WHO
dalam program penanggulangan malaria adalah 2 juta dolar Amerika Serikat. Hal
ini menunjukkan perlunya komitmen setiap negara untuk menanggulangi kejadian
penyakit malaria.
Berdasarkan luasnya dampak yang
diakibatkan oleh penyakit ini maka negara-negara di dunia sepakat untuk
menjalankan suatu program pemberantasan malaria yang disebut Global Malaria
Action Plan (GMAP). Organisasi Kesehatan dunia menetapkan pemberantasan
penyakit Malaria hingga prevalensi minimal sebagai salah satu target Millenium
Development Goals (MDGs). Dengan adanya target MDGs tersebut, upaya
pengendalian penyakit malaria di Indonesia semakin membaik. Angka kesakitan
malaria selama tahun 2000-2009 cenderung menurun. Malaria ditemukan lebih dari
90 negara atau hampir di seluruh bagian dunia, terutama di negara-negara yang
beriklim tropis dan subtropis. Menurut MDGs sendiri, kasus malaria masuk
kedalam pencapaian target MDGs yang ke-6 yaitu memerangi penyaki malaria,
artinya kasus malaria masih merupakan kasus yang perlu perhatian banyak pihak
dalam upaya mengendalikan penyebarannya dan menurunkan jumlah kasus baru malaria
demi tercapainya tujuan pada 2010.
Apa Itu Skrining Malaria?
Pelaksanaan skrining
merupakan salah satu cara untuk menjaring kelompok yang beresiko terinfeksi
malaria dan memisahkannya antara orang yang sakit dengan orang yang sehat. Uji skrining berdasarkan kriteria Dinkes untuk sensitivitasnya
yaitu 85%. Proses pelaksanaan screening ada 2 tahap yaitu:
11. Tahap I
adalah melakukan pemeriksaan terhadap kelompok
penduduk yang dianggap mempunyai risiko tinggi menderita penyakit. Apabila hasil negatif, dianggap orang
tersebut tidak menderita penyakit. Apabila
hasil positif dilakukan pemeriksaan tahap selanjutnya.
2. Tahap II
yaitu pemeriksaan diagnostik. Bila hasilnya
positif maka dianggap sakit dan mendapat pengobatan. Namun, bila hasilnya
negatif maka dianggap tidak sakit namun harus dilakukan pemeriksaan ulang
secara periodik.Oleh sebab itu, Kementerian Kesehatan mempunyai kebijakan
program dengan mendiagnosis malaria secara mikroskopis.
Apa Itu Uji Reaksi Cepat?
Uji Reaksi Cepat atau yang disebut dengan Rapid Diagnostic Test (RDT) merupakan
salah satu alat diagnostik alternatif dalam mendeteksi Plasmodium secara cepat
dan tidak memerlukan keterampilan khusus. Uji Reaksi Cepat atau RDT itu
merupakan pemeriksaan secara non mikroskopik. Mengapa? Karena RDT dilakukan dengan menggunakan parascreen dan pengobatannya menggunakan Artemisinin Combination Therapy (ACT).
Tapi hasil dari pemeriksaan ini masih harus
diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk mendapatkan
kepastian diagnosis malaria dengan pemeriksaan sediaan darah, yaitu pemeriksaan
secara mikroskop karena pemeriksaan mikroskopik merupakan gold standard (standard baku) untuk diagnosis pasti malaria.
Pemeriksaan mikroskop itu dilakukan dengan
membuat sediaan darah tebal dan tipis, baik di rumah sakit/Puskesmas/lapangan
tujuannya adalah untuk menentukan ada tidaknya parasit malaria (positif atau
negatif), spesies dan stadium plasmodium serta kepadatan parasit dalam darah.
Kelebihan
dari RDT antara lain:
1. Digunakan untuk tes cepat saat menghadapi wabah di lapangan
2. Tes dilakukan tanpa harus menggunakan sampel sediaan darah
3. Pemakaiannya mudah tanpa harus dilakukan oleh orang terlatih
Kelemahan dari RDT adalah masih perlunya pemeriksaan lanjut secara
mikroskopik untuk mendapatkan kepastian sehingga dianggap seperti kerja dua
kali. Sedangkan kelemahan dari pemeriksaan secara mikroskopik, antara lain:
1.
Harus menggunakan atau membuat sediaan darah terlebih dahulu
2. Membutuhkan tenaga yang memiliki keahlian dan keterampilan
khusus untuk melihat dan membaca sedian darah agar tidak terjadi kesalahan yang
fatal.
3.
Tidak dapat digunakan dilapangan saat menghadapi wabah.
4.
Butuh biaya banyak dan waktu yang lama.
Tetapi, ada juga kelebihan dari pemeriksaan
secara mikroskopik yaitu pemeriksaan tersebut merupakan Gold Standard (Standard
Baku) untuk diagnosis pasti malaria. Sebenarnya, perbandingan hasil antara RDT dengan pemeriksaan mikroskopik sediaan darah itu tidak
ada perbedaan yang terlalu signifikan, karena masing-masing tes memiliki kekurangan
dan kelebihan tersendiri. Oleh karena itu, untuk para petugas kesehatan terutama
para teknisi laboratorium harus memiliki keahlian dan ketelitian khusus
serta keterampilan yang lebih dalam melihat dan membaca sediaan darah pada
pemeriksaan mikroskopik karena jika tidak akan terjadi kesalahan yang fatal.
Jadi dengan demikian, diharapkan agar tujuan
MDGs memerangi penyakit malaria dalam upaya mengendalikan penyebaran dan
menurunkan jumlah kasus demi tercapainya tujuan pada 2015 itu dapat tercapai
dan target pemerintah untuk mengeliminasi secara bertahap penyakit malaria demi
tercapainya Indonesia bebas malaria pada tahun 2030 juga dapat terwujud. Amin..
Referensi:
1.
Nur
Amani, M. Kadar, A. Abdul Kadar. dan Solikhah. 2009.
Skrining Malaria Di Wilayah Kerja
Puskesmas Banyuasin Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo Propinsi Jawa Tengah.
Jurnal Kesmas UAD Vol. 3, No. 3. Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
9.
Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional Volume 4, Nomor 1, Agustus 2009.