Review Artikel
Rabies : Patogenesis, Penularan
dan Cara Pencegahannya
Oleh: Tri Bayu Purnama
Abstract
Rabies has become the world’s problem because behavior
in many human has living with pets who can be reservoir of rabies. This review
describes the features of human infection, pathogenesis, mode of transmission,
clinical management and prevention of rabies.
Keyword : Rabies, Pathogenesis, Mode
of Transmission, Pets, Clinical management, Prevention
of Rabies.
Pendahuluan
Rabies
(penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus,
bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat. Rabies bersifat zoonosis artinya
penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dan menyebabkan kematian
pada manusia dengan CFR (Case Fatality Rate) 100%. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang
terinfeksi dan disebarkan melalui luka gigitan atau jilatan.2,3 Penyakit
ini juga termasuk penyakit menular akut bersifat zoonosis dari susunan
syaraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Ditularkan oleh hewan penular
rabies terutama anjing, kucing dan kera melalui gigitan, aerogen, transplantasi
atau kontak dengan bahan yang mengandung virus rabies pada kulit yang lecet
atau mukosa.8
Rabies di Dunia dan Indonesia
Rabies masih dianggap sebagai zoonosis paling penting di
Indonesia. Arti penting penyakit itu tidak dinilai dari jumlah kematian manusia
yang ditimbulkannya, tetapi dari efek psikologis orang-orang yang terpapar,
dengan ketidaknyamanan, dan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh vaksinasi
Pastuer dengan menggunakan vaksin asal otak kera, dan penyebab kematian yang
sangat potensial terutama pada daerah-daerah padat penduduk seperti di negeri
ini (Ressang, 1962; Titkemeyer Dan Ressang, 1962). Kedua peneliti tersebut
melaporkan bahwa pada tahun 1960-an, selama 12 tahun lebih dari 33.000 orang
telah menerima suntikan vaksinasi Pasteur. Mereka menyatakan bahwa sangatlah
sukar untuk mengukur kerugian yang disebabkan oleh kepanikan, kegelisahan
ataupun kekhawatiran yang dialami oleh orang-orang itu, atau kesakitan,
ketidaknyamanan, dan waktu yang terbuang percuma pada saat pengobatan itu. Pada
tahun 1950-an, 10 orang meninggal tiap tahunnya karena rabies (Ressang, 1959).
Faktor lain yang menyebabkan rabies masih merupakan zoonosis
penting di dunia adalah akibat samping dari vaksinasi pascagigitan berupa
ensefalitis. Puluhan penderita gigitan anjing di Sulawesi Utara yang
mendapatkan vaksinasi dengan vaksin yang berasal dari otak kera menunjukkan
gejala ensefalitis pascavaksinasi dan bahkan beberapa meninggal dunia. Dari
6212 orang yang mendapatkan vaksinasi pascagigitan antara tahun 1972 sampai
1980, 82 orang (1,32%) menunjukkan gejala ensefalitis dan 43 orang (0,54%) dari
penderitanya meninggal dunia (Hardjosworo et al. 1981).4,5
Etiologi Rabies
Rabies
merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular melalui semua hewan
berdarah panas dan hampir semua kejadian infeksinya akan berakhir dengan
kematian. Penyakit ini disebabkan oleh Rhabdovirus Virus ini berbentuk
peluru berkapsula dengan ukuran 70x170 nm. Kapsula yang menyelubungi nya
tersusun atas peplomer glikoprotein, bahan protein (protein matrix) dan
lipoprotein. Virus ini memiliki nukleo kapsid dengan simetri heliks, genom sRNA
linear polaritas minus, 11-12 kb. Rhabdovirus mereplikasi diri dalam
sitoplasma, transkiptrase virus mentranskripsi lima RNA subgenom yang
ditranslasi menjadi lima protein yaitu transkriptase (150 K), Nukleoprotein
(50-62 K), protein matrix (20-30 K), peplomer glikoprotein (70-80 K) dan
protein tidak bersturktur (40-50 K). Pendewasaan virus ini melalui penguncupan
menembus membrane (Fenner, 1987). 6,8,23. Rhabdovirus mempunyai
masa inkubasi selama 10 hari – 6 bulan namun, biasanya 3-8 minggu
(Soeharsono,2002).
Patofisiologi
Virus
masuk ke tubuh melalui luka (biasanya dari gigitan hewan buas) atau lewat
membrana mucosa, bereplikasi di mycosit; menyebar ke jaringan ikat
neuromusculer dan spindle neurotendineal; berjalan ke CNS lewat cairan
intraaxonal dengan nervus perifer; menyebar keseluruhan ke CNS; akhirnya
menyebar secara sentrifugal dengan motor perifer, sensori, dan neuron. Cara
penularan melalui gigitan dan non gigitan (aerogen, transplantasi,
kontak dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet atau mukosa).
Cakaran oleh kuku hewan penular rabies adalah berbahaya karena binatang
menjilati kuku-kukunya. Saliva yang ditempatkan pada permukaan mukosa
seperti konjungtiva mungkin infeksius. Ekskreta kelelawar
yang mengandung virus rabies cukup untuk menimbulkan bahaya rabies pada mereka
yang masuk gua yang terinfeksi dan menghirup aerosol yang diciptakan
oleh kelelawar. Penularan rabies melalui transplan kornea dari penderita
dengan ensefalitis rabies yang tidak didiagnosis pada resipen/penerima
sehat telah direkam dengan cukup sering. Penularan dari orang ke orang secara
teoritis mungkin tetapi kurang terdokumentasi dan jarang terjadi.
Luka
gigitan biasanya merupakan tempat masuk virus melalui saliva, virus
tidak bisa masuk melalui kulit utuh. Setelah virus rabies masuk melalui luka
gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan
didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa
menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Bagian otak yang terserang adalah medulla
oblongata dan annon’s hoorn. Sesampainya di otak virus kemudian
memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama
mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik,
hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron
sentral, virus kemudian ke arah perifer dalam serabut saraf
eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan
demikian virus ini menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh dan
berkembang biak dalam jaringan- jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal dan
sebagainya. Gambaran yang paling menonjol dalam infeksi rabies adalah
terdapatnya badan negri yang khas yang terdapat dalam sitoplasma sel ganglion
besar.6,8,17,23
Masa Inkubasi
Masa
inkubasi rabies pada anjing 10 – 15 hari, dan pada hewan lain 3-6 minggu
kadang-kadang berlangsung sangat panjang 1-2 tahun. Masa inkubasi pada manusia
yang khas adalah 1-2 bulan tetapi bisa 1 minggu atau selama beberapa tahun (mungkin
6 tahun atau lebih). Biasanya lebih cepat pada anak-anak dari pada dewasa.
Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi yang panjang (2 sampai 7 tahun)
telah dilaporkan, tetapi jarang terjadi. Masa inkubasi bisa tergantung pada
umur pasien, latar belakang genetik, status immun, strain virus yang
terlibat, dan jarak yang harus ditempuh virus dari titik pintu masuknya ke
susunan saraf pusat. Masa inkubasi tergantung dari lamanya pergerakan virus
dari luka sampai ke otak, pada gigitan dikaki masa inkubasi kira-kira 60 hari,
pada gigitan di tangan masa inkubasi 40 hari, pada gigitan di kepala masa
inkubasi kira-kira 30 hari.13
Gejala Klinis Rabies Pada Hewan
Dan Manusia
Gejala klinis pada hewan
dibagi menjadi tiga stadium :
1. Stadium Prodromal
Keadaan
ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat berlangsung antara 2-3
hari. Pada tahap ini akan terlihat adanya perubahan temperamen yang masih
ringan. Hewan mulai mencari tempat-tempat yang dingin/gelap, menyendiri, reflek
kornea berkurang, pupil melebar dan hewan terlihat acuh terhadap tuannya. Hewan
menjadi sangat perasa, mudah terkejut dan cepat berontak bila ada provokasi.
Dalam keadaan ini perubahan perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu badan.
2. Stadium Eksitasi
Tahap
eksitasi berlangsung lebih lama daripada tahap prodromal, bahkan
dapat berlangsung selama 3-7 hari. Hewan mulai garang, menyerang hewan lain
ataupun manusia yang dijumpai dan hipersalivasi. Dalam keadaan tidak ada
provokasi hewan menjadi murung terkesan lelah dan selalu tampak seperti
ketakutan. Hewan mengalami fotopobi atau takut melihat sinar sehingga
bila ada cahaya akan bereaksi secara berlebihan dan tampak ketakutan.
3. Stadium Paralisis.
Tahap
paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga sulit untuk dikenali
atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Hewan mengalami
kesulitan menelan, suara parau, sempoyongan, akhirnya lumpuh dan mati.
Gejala klinis pada
manusia dibagi menjadi empat stadium.
1. Stadium Prodromal
Gejala
awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat adalah perasaan
gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar,
kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa
hari.
2. Stadium Sensoris
Penderita
merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka kemudian
disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap ransangan
sensoris.
3. Stadium Eksitasi
Tonus
otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala berupa eksitasi
atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap rangsangan cahaya,
tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu merintih sebelum kesadaran
hilang. Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak nyaman dan ketidak
beraturan. Kebingungan menjadi semakin hebat dan berkembang menjadi argresif,
halusinasi, dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku kejang.
4. Stadium Paralis
Sebagian
besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-kadang
ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot
yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang
yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.2,17,20,21,23,24
Epidemiologi Rabies
Rabies
telah menyebabkan kematian pada orang dalam jumlah yang cukup banyak. Tahun
2000, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun
di dunia ini terdapat sekurang-kurangnya 50.000 orang meninggal karena rabies.
Rabies bisa terjadi disetiap musim atau iklim, dan kepekaan terhadap rabies
kelihatannya tidak berkaitan dengan usia, seks atau ras. Di Amerika Serikat
rabies terutama terjadi pada musang, raccoon, serigala dan kelelawar.
Rabies serigala terdapat di Kanada, Alaska dan New York. Kelelawar penghisap
darah (vampir), yang menggigit ternak merupakan bagian penting siklus
rabies di Amerika latin. Eropa mempunyai rabies serigala, di Asia dan Afrika
masalah utamanya adalah anjing gila.20
Beberapa
daerah di Indonesia yang saat ini masih tertular rabies sebanyak 16 propinsi,
meliputi Pulau Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu,
Sumatera Selatan, dan Lampung), Pulau Sulawesi (Gorontalo, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara), Pulau Kalimantan
(Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur) dan Pulau Flores.
Kasus terakhir yang terjadi adalah Propinsi Maluku (Kota Ambon dan Pulau
Seram). 5,10,11,12,16 Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat
telah dinyatakan bebas dari rabies melalui SK Menteri Pertanian No. 566 Tahun
2004, Banten sejak tahun 1996, dan provinsi Jawa Barat sejak tahun 2001. Dengan
diterbitkannya SK Mentan bebas rabies ini, maka seluruh pulau Jawa telah bebas
rabies karena Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta telah lebih dahulu
dibebaskan berdasarkan SK Mentan No. 897 Tahun 1997.8
Manusia
yang menderita rabies selalu berakhir dengan kematian (100% Case Fatality
Rate), gigitan oleh anjing menempati persentase tertinggi (99,4%) diikuti
kucing (0,29%) dan hewan lain, kera dan hewan piaraan atau liar lainnya
(0,31%). Bagian tubuh manusia yang digigit meliputi kepala (5%), tangan
(28%), kaki(57%), lain-lain (10%).18
Kejadian Rabies di Lapangan
Kejadian (kasus) positif
rabies di lapangan dipengaruhi oleh
1) Pola
Penggigitan
Ada 2 pola penggigitan
oleh anjing terhadap manusia yaitu :
a. Penggigitan karena provokasi
Penggigitan
yang terjadi disini didahului oleh adanya gangguan langsung atau tidak
langsung. Pada anjing yang sedang beranak biasanya naluri untuk melindungi
anaknya sangat kuat sehingga sangat mudah sekali anjing menyerang dan menggigit
apalagi kalau diganggu. Bentuk-bentuk provokasi terhadap anjing sangat
beragam dari mulai memukul, menyeret ekor sampai dengan menggoda anjing yang
sedang tidur. Hal tersebut akan menstimulasi anjing untuk menggigit. Bahkan
pada kejadian lain orang membawa makanan yang lewat didepan anjing yang sedang
lapar dapat memicu terjadinya penggigitan.
b. Penggigitan tanpa provokasi
Dalam
hal ini anjing menyerang dan menggigit secara tiba-tiba tanpa adanya gangguan
dalam bentuk apapun. Dilapangan anjing yang menggigit secara tiba-tiba tadi
biasanya sudah menjadi ”wandering-dog” atau anjing lontang-lantung yang
berjalan tanpa tujuan dan menyerang serta menggigit siapa saja yang ditemuinya.
Anjing tersebut biasanya adalah anjing liar atau anjing peliharaan yang
ditelantarkan sehingga menjadi liar.10
2) Pola
Penyebaran
Penularan rabies di
lapangan (rural rabies) berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak
dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan ciri khas yang ada di
perdesaan yang berkembang dan sulit dikendalikan. Suatu kondisi yang sangat
kondusif untuk menjadikan suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah endemis.
Secara alami yang sering terjadi pola penyebaran rabies. Pada umumnya manusia
merupakan ”dead end” atau terminal akhir dari korban gigitan. Karena
sampai saat ini belum ada kasus manusia menggigit anjing. Baik anjing liar,
anjing peliharaan yang menjadi liar maupun anjing peliharaan, setiap saat dapat
menggigit manusia. Sementara itu anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi
liar dapat menggigit satu sama lain. Kalau salah satu diantara anjing yang
menggigit tersebut positif rabies, maka akan terjadi kasus-kasus positif (+)
rabies yang semakin tinggi.21
3) Pembagian
Status Daerah Rabies
1. Daerah Bebas
Kriterianya :
-
Daerah
yang secara historis tidak pernah ditemukan penyakit rabies.
-
Daerah
yang tertular rabies tapi dalam 2 tahun terakhir tidak ada kasus secara klinis
dan epidemiologis serta sudah dikonfirmasi secara laboratoris. 9,10,11,12
2. Daerah Tertular
Kriterianya :
-
Daerah
yang dalam 2 tahun terakhir pernah ada kasus pada hewan dan manusia (baik secara berurutan atau tunggal)
secara klinis epidemiologis dan dikonfirmasi secara laboratoris. Khusus untuk
manusia kasusnya berasal dari daerah tersebut (bukan kasus import)
3. Daerah Tersangka
Kriterianya :
-
Daerah
yang dalam 2 tahun terakhir ada kasus rabies secara klinis dan epidemiologis
tapi belum dibuktikan secara laboratoris.
-
Daerah
yang berbatasan langsung dalam satu daratan dengan daerah tertular.9,10,11,12
Pencegahan dan Pengendalian
Rabies
A. Pencegahan Primer Rabies
a)
Tidak
memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing, kucing, kera dan hewan
sebangsanya di daerah bebas rabies.
b)
Memusnahkan
anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk tanpa izin ke daerah
bebas rabies.
c)
Dilarang
melakukan vaksinasi atau memasukkan vaksin rabies kedaerah-daerah bebas rabies.
d)
Melaksanakan
vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70% populasi yang ada dalam
jarak minimum 10 km disekitar lokasi kasus.
e)
Pemberian
tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing, kucing yang telah
divaksinasi.
f)
Mengurangi
jumlah populasi anjing liar atan anjing tak bertuan dengan jalan pembunuhan dan
pencegahan perkembangbiakan.
g)
Anjing
peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran, harus didaftarkan ke
Kantor Kepala Desa/Kelurahan atau Petugas Dinas Peternakan setempat.
h)
Anjing
harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari 2 meter.
Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus diikat dengan rantai tidak lebih
dari 2 meter dan moncongnya harus menggunakan berangus (beronsong).
i)
Menangkap
dan melaksanakan observasi hewan tersangka menderita rabies, selama 10 sampai
14 hari, terhadap hewan yang mati selama observasi atau yang dibunuh, maka
harus diambil spesimen untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk
diagnosa.
j)
Mengawasi
dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya yang
bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies.
k)
Membakar
dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies sekurang-kurangnya 1 meter.1,9,
11,12,18,19
B.
Pencegahan
Sekunder
Pertolongan
pertama yang dapat dilakukan untuk meminimalkan resiko tertularnya rabies
adalah mencuci luka gigitan dengan sabun atau dengan deterjen selama 5-10 menit
dibawah air mengalir/diguyur. Kemudian luka diberi alkohol 70% atau Yodium
tincture. Setelah itu pergi secepatnya ke Puskesmas atau Dokter yang terdekat
untuk mendapatkan pengobatan sementara sambil menunggu hasil dari rumah
observasi hewan. Resiko yang dihadapi oleh orang yang mengidap rabies sangat
besar. Oleh karena itu, setiap orang digigit oleh hewan tersangka rabies atau
digigit oleh anjing di daerah endemic rabies harus sedini mungkin mendapat
pertolongan setelah terjadinya gigitan sampai dapat dibuktikan bahwa tidak
benar adanya infeksi rabies.11,12
C.
Pencegahan
Tersier
Tujuan
dari tiga tahapan pencegahan adalah membatasi atau menghalangi perkembangan
ketidakmampuan, kondisi, atau gangguan sehingga tidak berkembang ke tahap
lanjut yang membutuhkan perawatan intensif yang mencakup pembatasan terhadap
ketidakmampuan dengan menyediakan rehabilitasi. Apabila hewan yang dimaksud
ternyata menderita rabies berdasarkan pemeriksaan klinis atau laboratorium dari
Dinas Perternakan, maka orang yang digigit atau dijilat tersebut harus segera
mendapatkan pengobatan khusus (Pasteur Treatment) di Unit Kesehatan yang
mempunyai fasilitas pengobatan Anti Rabies dengan lengkap.
Pengendalian
a.
Aturan
Perundangan
Upaya
pencegaan dan pengendalian rabies telah dilakukan sejak lama, di Indonesia
dilaksanakan melalui kegiatan terpadu secara lintas sektoral antara lain dengan
adanya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yaitu Menteri Kesehatan, Menteri
Pertanian, dan Menteri Dalam Negeri No: 279A/MenKes/SK/VIII/1978; No:
522/Kpts/Um/8/78; dan No: 143/tahun1978. Penerapan aturan perundangan ini perlu
ditegakkan, agar pelaksanaan di lapangan lebih efektif dan secara tegas memberikan
otoritas kepada pelaksana untuk melakukan kewajibannya sesuai dengan aturan
perundangan yang ada, baik tingkat nasional, tingkat kawasaan, maupun tingkat
lokal.9,11,12
b.
Surveilans
Pelaksanaan
surveilans untuk rabies merupakan dasar dari semua program dalam rangka
pengendalian penyakit ini. Data epidemiologi harus dikumpulkan sebaik mungkin,
dianalisis, dipetakan, dan bila mungkin segera didistribusikan secepat mungkin.
Informasi ini juga penting untuk dasar perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan
program pengendalian.9,11,12
c.
Vaksinasi
Rabies
Untuk
mencegah terjadinya penularan rabies, maka anjing, kucing, atau kera dapat
diberi vaksin inaktif atau yang dilemahkan (attenuated). Untuk
memperoleh kualitas vaksin yang efektif dan efisien, ada beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi, baik vaksin yang digunakan bagi hewan maupun bagi manusia,
yakni :
·
Vaksin
harus dijamin aman dalam pemakaian.
·
Vaksin
harus memiliki potensi daya lindung yang tinggi.
·
Vaksin
harus mampu memberikan perlindungan kekebalan yang lama.
·
Vaksin
harus mudah dalam cara aplikasinya.
·
Vaksin
harus stabil dan menghasilkan waktu kadaluwarsa yang lama.
·
Vaksin
harus selalu tersedia dan mudah didapat sewaktu-waktu dibutuhkan. 7,9,12,14,15,18
Kesimpulan
Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan
yang disebabkan oleh virus, bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat.
Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari
hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case
Fatality Rate) 100%.
Cara penularan melalui
gigitan dan non gigitan (aerogen, transplantasi, kontak dengan bahan
mengandung virus rabies pada kulit lecet atau mukosa). Cakaran oleh kuku hewan
penular rabies adalah berbahaya karena binatang menjilati kuku-kukunya.
Pencegahan
dan pengendalian rabies dapat dilakukan dengan menjaga jarak antara hewan
peliharaan yang dapat menyebabkan rabies dengan manusia sehingga dapat
memutuskan kejadian rabies di Indonesia dan Dunia.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Anonimus(1).
2010. Rabies di Indonesia : Usulan Tindakan Pengendalian ; http://kafeungu.blogspot.com/2009/11/rabies-di-indonesia-usulan-tindakan.html
2.
Anonimus(2).2010.
Penyakit Rabies; http://id.shvoong.com/exact-sciences/veterinary/2027648-rabies/
3.
Anonimus(3).
2010. Artikel Pets Animals Penyakit Rabies; http://www.vet-klinik.com/pets-Animals/Penyakit-rabies.html
4.
Anonimus(5).2010.
Penyakit Anjing Gila (Rabies), Sumber : Suku Dinas Peternakan dan Perikanan
Kodya Jakarta Pusat; http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-11437.html
5.
Anonimus(6).2010.
24 Provinsi Endemik Rabies; Kompas;
6.
Anonimus(7).2010.
Anjing Gila, Pengertian, Sejarah, Penyebab, Cara Mengatasi;http://ridwanaz.com/kesehatan/anjing-gila-pengertian-sejarah-penyebab-cara-mengatasi
7.
Anonimus(8).2010.
Rabies Ancam DKI, Ribuan Hewan Divaksinasi;
9.
Anonimus
(8), 2004. Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Seri
Penyakit Rabies. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan.
DepartemenPertanian.
10.
Anonimus
(9). 2006. Evaluasi Program Pembebasan Rabies di Pulau Sumatera. Makalah
Pertemuan Tim Koordinasi Rabies Se Sumatera di Bengkulu. Direktorat Kesehatan
Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian.
11.
Anonimus
(10). 2006. Situasi dan Kebijakan Program Pembebasan Rabies di Indonesia.
Makalah Pertemuan Tim Koordinasi Rabies Se-Sumatera di Bengkulu. Ditjen PP
& PL. DepartemenKesehatan.
12.
Ditjen
PPMPL Depkes RI. 2002. Petunjuk perencanaan dan Penatalaksanaan
kasus gigitan Hewan tersangka / rabies Di indonesia
13.
J.
Frank, Fenner. 1987. Veterinary Virologi. [ D. K. Harya Putra, K. G.
Suaryana]. Semarang: IKIP Semarang Press. 257:279
14.
Maharis
R., Natih K.K.N., soedijar r. L., Hermawan D., dan Nuryani N. 2007. Pengkajian
Mutu Vaksin Rabies di 12 Propinsi di Indonesia. Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan
No. I 2. Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan.
15.
Moedijono
G.M. 1996. Vaksin Anti Rabies, Potensi, Imunitas dan Evaluasi Hasil Vaksinasi
di Lapangan. Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan No. 5.
17.
OIE;
2007; OIE Procedure for Validation and Certification of Diagnostic Assay
18.
Pengobatan,
Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan;
19.
Perda
Nomor 11 DKI Jakarta Tahun 1995 tentang Pengawasan Hewan Rentan Rabies, Serta
Pencegahan dan Penaggulangan Rabies di Daerah Khusus Ibukota Jakarta
20.
Smith,
Jean S; 1996; New Aspects of Rabies with Emphasis on Epidemiology, Diagnosis
and Prevention of the Disease in the United States; Clinical Microbiology
Reviews Vol. 9, No.2.
21.
Soeharsono.
2002. Zoonosis. Jogjakarta: Kanisius. 67:72
22.
Sudomo,
Agung; Kusuma, Megasari; Maryuni, Vivi. IPB. 2009. Program Kreativitas Mahasiswa.
Pemanfaatan Habbatus Sauda Untuk Terapi Penunjang Pencegah Rabies Pada
Anjing
23.
Schnurrenberger,
R. Paul.1991. An Outline of the Zoonoses.Alabama: The Iowa State
University Press. 60:63
24.
Tizard,
Ian. 1988. Immunologi Veteriner Ed. 2. Surabaya: Penerbit Universitas
Airlangga. 203:206, 224:232
trims infonya
ReplyDelete