Monday, September 30, 2013

Penulis: Rizka Rohmaningsih

Setelah melakukan kunjungan ke BBTKLPP Yogyakarta dan B2P2VRP Salatiga (2-4 Juli 2013), pada tanggal 5 Juli 2013, ESA melakukan wisata ke Goa Pindul. Objek wisata Goa Pindul merupakan objek wisata yang unik, yaitu berupa penelusuran Goa sepanjang 300 meter dengan menggunakan alat pelampung dan ban. Setelah itu lanjut dilanjutkan rafting di Kali Oyo .

Penasaran seperti apa keseruan ESA?
Let's, check this out! :)

Penulis: Ana Erviana | Editor: Nur Luthfiyah

Prevalensi PJK

Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang sedang kita hadapi di era pembangunan kesehatan ini adalah beban ganda penyakit, yaitu di salah satu pihak masih banyaknya penyakit infeksi yang harus ditangani, di lain pihak terjadi peningkatan penyakit yang tidak menular. Badan kesehatan dunia (WHO) menyatakan bahwa kematian di dunia pada tahun 2008 yang disebabkan oleh penyakit tidak menular sebesar 63% dari jumlah kematian di dunia dan  diprediksikan akan meningkat pada tahun 2010 sebanyak 15% (WHO, 2010).

Menurut data yang termuat di Buletin Jendela dan Data Kesehatan oleh Depkes RI tahun 2012 menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di dunia pada tahun 2008, sebanyak 36 juta atau hampir dua pertiganya disebabkan oleh penyakit tidak menular (PTM) (Depkes RI, 2012). Di Indonesia menurut hasil Riskesdas (2007) angka kematian akibat penyakit tidak menular meningkat dari 41,7% pada tahun 1995 menjadi 59,5% pada tahun 2007 dan pada tahun 2008 terdapat sebanyak  582.300 laki-laki dan 481.700 perempuan meninggal karena PTM (Riskesdas, 2007).

Salah satu penyakit PTM yang meresahkan masyarakat saat ini adalah penyakit jantung dan pembuluh darah. Berdasarkan laporan WHO tahun 2005, dari 58 juta kematian di dunia, 17,5 juta (30%) diantaranya disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah, terutama oleh serangan jantung (7,6 juta) dan strok (5,7 juta). Pada tahun 2015, kematian akibat penyakit jantung (kardiovaskular) dan pembuluh darah diperkirakan akan meningkat menjadi 20 juta (Depkes RI, 2009).

Dari bebarapa kumpulan penyakit kardiovaskular, penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan. WHO memperkirakan 15 juta orang di dunia meninggal akibat jantung pertahunnya, yaitu sama dengan 30% total kematian di dunia. Selanjutnya, 7 juta lebih kematian tersebut di antaranya akibat penyakit jantung koroner, 500 ribu akibat stoke, dan 691 juta mengalami hipertensi (Muchtar, 2010).

Di negara lain, penyakit jantung koroner juga merupakan salah satu penyakit kardivaskular yang menyebabkan kematian. Pada tahun 2005, di Amerika Serikat sebanyak 56% kematian disebabkan oleh penyakit kardiovaskular  dan didominasi oleh penyakit jantung koroner (Adams, et al. 2009). Hal ini juga terjadi di Inggris pada tahun 2006, angka kematian paling banyak disebabkan oleh penyakit kardiovaskular dan jantung koroner sebagai penyebab utamanya (Falherty, et al. 2012).

Di Indonesia, berdasarkan hasil Riskesdas (2007) menunjukkan bahwa penyakit jantung dan pembuluh darah (PJPD) yang paling banyak adalah penyakit jantung koroner, penyakit jantung rematik, hipertensi dan penyakit jantung bawaan (Depkes RI 2009). Sensus nasional tahun 2001 menunjukkan bahwa kematian karena penyakit kardiovaskuler termasuk penyakit jantung koroner adalah sebesar 26,4 %, (Depkes RI, 2001 dalam Mamat, 2008).


Faktor Risiko PJK

Penyakit jantung koroner merupakan penyakit disebabkan oleh penyempitan atau penghambatan pembuluh arteri yang mengalirkan darah ke otot jantung. Bilamana penyempitan ini menjadi parah maka dapat terjadi serangan jantung dan apabila terjadi  penyempitan pembuluh arteri ke otak dapat menimbulkan stroke (Soeharto. 2000).  Faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner, yaitu: (1) fakror yang tidak bisa dimodifikasi seperti umur, jenis kelamin dan genetik; (2) faktor yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi, diabetes, hiperlipedimia, merokok, kolesterol, stres dan olah raga (Bustan, 2007).

a. Umur

Umur merupakan faktor yang amat berpengaruh terhadap kejadian PJK, terutama terhadap terjadinya pengendapan aterosklerosis pada arteri koroner. Saluran arteri koroner ini  dapat dibandingkan dengan saluran pipa leding, yaitu semakin tua umurnya maka semakin besar kemungkinan timbulnya kerak  di dindingnya yang mengakibatkan terganggunya aliran air dalam pipa.

Penyakit jantung bukan monopoli orang laki-laki saja, perempuan pun dapat terkena juga. Memang betul lebih banyak laki-laki yang terkena serangan jantung dari pada perempuan dalam  usia yang lebih muda. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan sebelum fase menopouse memiliki risiko serangan jantung lebih rendah dari pada laki-laki.

Hal tersebut disebabkan oleh hormon estrogen yang bersifat “melindungi” terhadap penyakit tersebut. Hormon ini kelihatannya memiliki pengaruh bagaimana tubuh bekerja menghadapi lemak dan kolesterol sehingga menghasilkan kadar HDL tinggi dan LDL Rendah. Karena itu pada pemeriksaan darah umumnya memiliki kadar HDL tinggi dari pada laki-laki. Jadi bila mereka sama-sama memiliki angka kadar kolesterol total 200mg/dl, sementara HDL perempuan 50 mg/dl, sedangkan HDL laki-laki 40 mg/dl, maka rasionya akan berbanding 200/50= 4.0 untuk perempuan dan 200/40= 5.0 untuk laki-laki. Karena itulah risiko PJK pada laki-laki lebih besar dari pada perempuan.

b. Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga tidak sepenuhnya merupakan faktor resiko PJPD, penyakit ini  juga dipengaruhi oleh lingkungan. Akan tetapi, seseorang yang memiliki keturunan dengan riwayat penyakit jantung dan pembuluh darah tetap harus berhati-hati, terutama bagi keluarganya yang terserang penyakit di usia dini ( kurang dari 55 tahun). Sedangkan seseorang dengan keluarga memiliki riyawat jantung dan pembuluh darah pada umur 75-80 tahun tidak perlu terlalu dipermasalahkan. (Black,2002)

c. Obesitas

Obesitas juga merupakan faktor risiko dari penyakit PJK yang dapat dimodifikasi. Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Kaplan dan Stamler disebutkan bahwa selain dapat menyebabkan kematian, obesitas juga dapat merusak beberapa sistem pada organ tubuh. Jantung bekerja lebih berat pada orang yang mengalami obesitas, dan volume darah serta tekanan darah juga akan mengalami peningkatan. Penurunan berat badan secara signifikan akan mempengaruhi penurunan kadar kolesterol yang berkontribusi terhadap penimbunan lemak pada penderita jantung koroner. Berat badan berlebihan berhubungan dengan beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen jantung menjadi meningkat. Kegemukan berkaitan erat dengan peningkatan kadar LDL. Fakta menunjukkan bahwa distribusi lemak tubuh berperan penting dalam peningkatan faktor risiko penyakit jantung koroner. (Depkes RI, 2009)

d. Diabetes

Diabetes adalah suatu penyakit dimana tubuh tidak dapat mengatur gula (secara spesifik, glukosa) dalam darah. Diabetes menyebabkan faktor risiko terhadap PJK apabila kadar glukosa darah naik, terutama bila berlangsung dalam waktu yang cukup lama karena gula darah (glukosa) tersebut dapat menjadi racun terhadap tubuh, termasuk sistem kardiovaskular. (Price dan Wilson, 1995)

Pasien diabetes cenderung mengalami gangguan jantung pada usia yang masih muda. Diabetes yang tidak terkontrol dengan kadar glukosa yang tinggi dalam darah cenderung berperan menaikkan kadar kolesterol. Penyakit diabetes menyebabkan arterioklerosik. Proses degeneratif vaskular dan metabolisme lipid yang tidak normal memegang peranan terjadinya pertumbuhan arteroma sehingga pembuluh arteri menjadi sempit. (Price dan Wilson, 1995)

Penderita diabetes cenderung memiliki prevalensi ateroklerosis yang lebih tinggi, demikian pula kasus aterosklerosis koroner prematur dan berat. Mekanismenya sampai sekarang belum dipastikan, tetapi mungkin yang menjadi penyebabnya adalah metabolisme lemak dan faktor predisposisi terhadap generasi vaskular yang berkaitan dengan gangguan toleransi glukosa. (Price dan Wilson, 1995)

e. Merokok

Merokok merupakan faktor terbesar yang menyumbang terjadinya serangan jantung koroner. Para perokok mempunyai risiko dua sampai tiga kali meninggal karena serangan jantung  koroner dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Risiko terkena serangan jantung juga tergantung dengan jumlah rokok yang dihisap setiap harinya. Orang yang lebih sering merokok lebih berisiko terkena penyakit jantung koroner. Kadar nikotin dan kandungan karbon monoksida dapat  memperkuat beban kerja jantung dan gangguan pengangkutan oksigen ke jantung. Merokok dapat merangsang proses aterioklerosis karena efek langsung terhadap dinding arteri. Karbon monoksida dapat menyebabkan hipoksia jaringan arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang dapat menambah reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan pada dinding arteri. Sedangkan glikoprotein tembakau dapat menimbulkan reaksi hipersensitif dinding arteri. (Kusmana & Muchtar hanafi, 1996)

f. Hipertensi

Faktor risiko PJK lainnya adalah hipertensi. Resiko penyakit jantung dan pembuluh darah meningkat sejalan dengan peningkatan tekanan darah. Hasil penelitian Framigham menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik 130-139 mmhg dan tekanan diastolik 85-89 mmhg akan meningkatkan resiko penyakit jantung dan pembuluh darah sebesar 2 kali dibandingkan dengan tekanan darah kurang dari 120 per 80 mmhg. Hipertensi merupakan penyebab tersering penyakit jantung koroner dan stroke. (Pedoman Pengendalian PJPD, 2011).

g. Konsumsi Alkohol

Konsumsi alkohol yang terlalu banyak akan meningkatkan tekanan darah sehingga resiko untuk terserang penyakit jantung dan pembuluh darah juga lebih tinggi. Selain itu konsumsi alkohol juga meningkatka kadar trigliserida yang dapat memperkeras arteri (CDC, 2010).

h. Stress

Stres adalah reaksi tubuh berupa serangkaian respon yang bertujuan untuk mengurangi dampak dari stresor. Dampak negatif stres dapat berupa alkoholik, makan berlebihan, merokok, peningkatan tekanan darah dan denyut jantung serta peningkatan gula darah. Secara tidak langsung dampak ini meningkatkan resiko PJPD. Namun, stres juga dapat menjadi faktor resiko penyakit serangan jantung dan stroke (Pedoman pengendalian PJPD, 2011)

Berdasarkan penjelasan diatas menunjukkan bahwa penyakit Jantung Koroner merupakan penyakit yang perlu diperhatikan. Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit tersebut sehingga perlu kesadaran diri yang tinggi untuk mencegahnya, di antaranya dengan menjalankan gaya hidup sehat.


Referensi:
Adams, Robert, et al. 2009. Heart Diseases and Stroke Statistics. Jurnal Of The Amerikan Heart Association, 199: el-e161World Health Organization. 2010. Deaths From Non Communicable Diseases. Genewa: WHO. 201.
Black, Hendy. 2002. Cardiovascular Disease Risk Factor. Diakses pada 20 mei 2013 di www.med.yale.edu/library
Bustan. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta
CDC. 2010. Center For Diseases Control and Prevention Stroke diakses pada 20 mei 2013 di http://www.cdc.gov/stoke/index.htm
Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh. Darah edisi I. Departemen Kesehatan RI. Ditjen P2PL Ditjen Pengendalian Penyakit Tidak Menular.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Pengendalian Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Berbasis Masyarakat. Edisi I, Cetakan II. Depkes RI. Ditjen P2&PL Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan RI. 2012. Penyakit Tidak Menular. Buletin Jendela dan Data Kesehatan ISSN 2088-270X. Jakarta: Bakti Husada.
Depkes RI. 2007. Pedoman pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Depkes RI
Depkes RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta:  Departemen kesehatan RI
Flaherty, Martin, et al. 2012. Potential Cardiovascular Mortality Reductions With Sticter Food Policies in United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland. Bulletin Of World Health Organization, Vol. 90 (pp.477-556). Geneva.
Kaplan & Stamler. 1931. Prevention of HCD. Canada: W.B Sauders Company
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Kemenkes RI.
Kusmana &Moechtar. 1996. Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner. Jakarta: FKUI
Muchtar, zahra. 2010. Gambaran Epidemiologi Penyakit Jantung Koroner Pada Pasien Wanita di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta Tahun 2009. Skripsi. Universitas Indonesia
Price, Sylvia & Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Soeharto, Imam. 2000. Pencegahan dan Penyembuhan Penyakit Jantung Koroner. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. H.13.
World Health Organization. WHO World Health Organization Report 2000. Genewa: WHO.


Penulis: Wiwid Handayani | Editor: Nur Luthfiyah

Masih terbayang kejadian kemarin yang menimpa anak dari musisi terkenal di Indonesia yang tertimpa musibah kecelakaan mobil yang menewaskan banyak jiwa. Miris melihat anak di bawah umur mengemudi kendaraan. Namun tidak dapat dipungkiri, inilah trend masa kini. Terlepas dari budaya yang melingkupi masalah tersebut, saya menjadi terpikirkan mengenai, bagaimana program surveilans kecelakaan lalu lintas itu bekerja?

Gangguan akibat kecelakaan dan cedera saat ini menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena tingginya angka kecacatan dan kematian. Kecelakaan lalu lintas menempati urutan ke-9 pada disability adjusted life year (DALY) dan diperkirakan akan meningkat menjadi peringkat ke-3 di tahun 2020 (Nantulya VM, Reich MR, 2002), sedangkan di negara berkembang menempati urutan ke-2 (Coats TJ, Davies G, 2002).

Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan interpretasi data secara terus menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2, 2008). Kecelakaan lalu lintas adalah kejadian kecelakaan lalu lintas darat yang tidak terduga dan tidak diinginkan. Karena surveilans ini lebih dikaitkan dengan kecelakaan lalu lintas, maka langkah-langkah pengumpulan data, dan sebagainya dititikberatkan ke arah data korban kecelakaan lalu lintas.

Kebijakan dalam pelaksanaan surveilans KLL adalah sebagai berikut (Ditjen P2PL, 2008):
  1. Melaksanakan surveilans KLL di Puskesmas dan Rumah Sakit Sentinel.
  2. Melaksanakan surveilans KLL di Puskesmas dan Rumah Sakit Non Sentinel serta unit pelayanan kesehatan swasta secara bertahap.
  3. Mengumpulkan data epidemiologi KLL pada instansi terkait dari setiap tingkat administrasi pemerintahan.
Strategi dalam surveilans KLL sebagai berikut (Ditjen P2PL, 2008):
  1. Melakukan advokasi ke instansi terkait
  2. Memfasilitasi terbentuknya kelompok surveilans KLL di tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.
  3. Memberikan bimbingan dan bantuan teknis program serta pelatihan bagi petugas kesehatan di setiap administrasi pemerintahan dalam rangka peningkatan surveilans epidemiologi.
  4. Peningkatan mutu data dan informasi epidemiologi.
  5. Penguatan jejaring surveilans epidemiologi.
  6. Peningkatan pemanfaatan teknologi komunikasi informasi elektromedia yang terintegrasi dan interaktif.
  7. Meningkatkan diseminasi informasi dan sosialisasi program pengendalian KLL pada sektor terkait, pemerintah daerah dan masyarakat.

Penyelenggaraan surveilans KLL dapat dilakukan dengan beberapa metode yang dapat dipilih, yaitu (Ditjen P2PL, 2008):
  1. Surveilans epidemiologi rutin terpadu adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi terhadap beberapa kejadian, permasalahan dan atau faktor risiko KLL.
  2. Surveilans epidemiologi khusus adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi terhadap suatu kejadian, permasalahan, dan faktor risiko pada situasi khusus.
  3. Surveilans Sentinel adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi pada sampel dan wilayah terbatas untuk mendapatkan sinyal/indikasi adanya masalah kesehatan pada suatu populasi atau wilayah yang lebih luas.
  4. Studi Epidemiologi adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi pada periode tertentu serta populasi dan atau wilayah tertentu untuk mengetahui lebih mendalam gambaran epidemiologi penyakit, permasalahan atau faktor risiko kesehatan.

Agar surveilans KLL berjalan secara sinergis dalam pengendalian faktor risiko, perlu adanya keterlibatan dari lintas program dan lintas sektor, antara lain:
1.      Departemen kesehatan
2.      Rumah sakit
3.      POLRI
4.      Departemen perhubungan
5.      Menkominfo
6.      Departemen pekerjaan umum
7.      Departemen Hukum dan HAM
8.      Badan Meteorologi dan Geofisika
9.      Pemerintah Daerah
10.  Pemadam Kebakaran
11.  Organda
12.  Asuransi jasa raharja, dan lain-lain.


Referensi:
Nantulya VM, Reich MR. Theneglected Epidemic: Road Traffic Injuries in Developing Countries. BMJ2002; 324: 1139-41.
Coats TJ, Davies G. Prehospital Care for Road Traffic Casualties. BMJ 2002; 324: 1135-8.
Direktorat Jenderal PP & PL. 2008. Petunjuk Teknis Surveilans Gangguan Akibat Kecelakaan dan Cedera Lalu Lintas. Jakarta : Direktorat PP & PL.
DCP2 (2008). Public Health Surveillance: The Best Weapon to Avert Epidemics. Disease Control Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf

Sunday, September 22, 2013

 Penulis: Lailatul Magfiroh | Editor: Nur Luthfiyah



Tema tersebut dipilih anak-anak Epidemiologi sebagai tema stand peminatan Epidemiologi dalam acara JKKM (Jaringan Keluarga Kesehatan Masyarakat) yang telah diadakan oleh BEMJ Kesehatan Masyarakat pada tanggal 14 September 2013. Acara tersebut dihadiri oleh seluruh mahasiswa Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dari angkatan 2010-2013 dan para alumni dari angkatan 2004-2009.

Selain stand peminatan Epidemiologi, terdapat stand-stand dari peminatan lain, yaitu  peminatan Kesehatan Lingkungan, Gizi, K3, Promosi Kesehatan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan (MPK). Tujuan umum dari keberadaan stand peminatan ini adalah sebagai media informasi bagi mahasiswa Kesehatan Masyarakat angkatan 2012 dan 2013 terkait berbagai permasalahan, model perkuliahan, prospek kerja di masa depan pada masing-masing peminatan. Setidaknya, melalui stand-stand tersebut, mereka memiliki gambaran umum terkait peminatan apa yang nantinya mereka pilih di semester 4.

Di stand Epidemiologi, kami menyediakan pemeriksaan tekanan darah secara gratis, dan mempromosikan karya-karya mahasiswa Epidemiologi angkatan 2010 dan 2011, seperti majalah EPIFO (Epidemiologi For Information), WARTA, dokumentasi kunjungan lapangan, dokumentasi praktek lapangan kegiatan skrining di Bogor, serta dokumentasi kunjungan ke Kementrian Kesehaatan dalam acara Pekan Imunisasi Dunia.
Meskipun adik-adik mahasiswa baru belum mendapatkan mata kuliah tentang Epidemiologi, tapi tidak sedikit dari mereka yang tertarik dengan peminatan Epidemiologi.

“Saya besok mau masuk peminatan Epidemiologi, karena bagi saya epidemiologi peminatan yang perlu tantangan dan saya masuk Kesehatan Masyarakat karena ingin masuk peminatan Epidemiologi nantinya." ujar Wati (MaBa 2013).


“Epidemiologi baru ada dua angkatan di Jurusan Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah. Bagus banget! Epidemiologi itu ibarat jiwanya Kesehatan Masyarakat, anak Epidemiologi harus bisa mengolah data, dan analisis data dengan software. Karena di lingkungan kerja, soft skill yang seperti itulah yang sangat dibutuhkan. Perlu kalian ketahui juga bahwa sekarang lulusan Epidemiologi sangat dibutuhkan, meskipun kalian nanti lulus dengan S.KM, alangkah baiknya melanjutkan S2 di bidang Epidemiologi." ujar kak Ramdhani, S.KM. (Kesehatan Masyarakat, 2004).















Thursday, September 19, 2013

Review Artikel
Rabies : Patogenesis, Penularan dan Cara Pencegahannya

Oleh: Tri Bayu Purnama

Abstract
Rabies has become the world’s problem because behavior in many human has living with pets who can be reservoir of rabies. This review describes the features of human infection, pathogenesis, mode of transmission, clinical management and prevention of rabies. 
Keyword : Rabies, Pathogenesis, Mode of Transmission, Pets, Clinical management, Prevention of Rabies.

Pendahuluan

Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus, bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat. Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case Fatality Rate) 100%. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan disebarkan melalui luka gigitan atau jilatan.2,3 Penyakit ini juga termasuk penyakit menular akut bersifat zoonosis dari susunan syaraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Ditularkan oleh hewan penular rabies terutama anjing, kucing dan kera melalui gigitan, aerogen, transplantasi atau kontak dengan bahan yang mengandung virus rabies pada kulit yang lecet atau mukosa.8

Rabies di Dunia dan Indonesia

Rabies masih dianggap sebagai zoonosis paling penting di Indonesia. Arti penting penyakit itu tidak dinilai dari jumlah kematian manusia yang ditimbulkannya, tetapi dari efek psikologis orang-orang yang terpapar, dengan ketidaknyamanan, dan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh vaksinasi Pastuer dengan menggunakan vaksin asal otak kera, dan penyebab kematian yang sangat potensial terutama pada daerah-daerah padat penduduk seperti di negeri ini (Ressang, 1962; Titkemeyer Dan Ressang, 1962). Kedua peneliti tersebut melaporkan bahwa pada tahun 1960-an, selama 12 tahun lebih dari 33.000 orang telah menerima suntikan vaksinasi Pasteur. Mereka menyatakan bahwa sangatlah sukar untuk mengukur kerugian yang disebabkan oleh kepanikan, kegelisahan ataupun kekhawatiran yang dialami oleh orang-orang itu, atau kesakitan, ketidaknyamanan, dan waktu yang terbuang percuma pada saat pengobatan itu. Pada tahun 1950-an, 10 orang meninggal tiap tahunnya karena rabies (Ressang, 1959).
Faktor lain yang menyebabkan rabies masih merupakan zoonosis penting di dunia adalah akibat samping dari vaksinasi pascagigitan berupa ensefalitis. Puluhan penderita gigitan anjing di Sulawesi Utara yang mendapatkan vaksinasi dengan vaksin yang berasal dari otak kera menunjukkan gejala ensefalitis pascavaksinasi dan bahkan beberapa meninggal dunia. Dari 6212 orang yang mendapatkan vaksinasi pascagigitan antara tahun 1972 sampai 1980, 82 orang (1,32%) menunjukkan gejala ensefalitis dan 43 orang (0,54%) dari penderitanya meninggal dunia (Hardjosworo et al. 1981).4,5

Etiologi Rabies

Rabies merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular melalui semua hewan berdarah panas dan hampir semua kejadian infeksinya akan berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh Rhabdovirus Virus ini berbentuk peluru berkapsula dengan ukuran 70x170 nm. Kapsula yang menyelubungi nya tersusun atas peplomer glikoprotein, bahan protein (protein matrix) dan lipoprotein. Virus ini memiliki nukleo kapsid dengan simetri heliks, genom sRNA linear polaritas minus, 11-12 kb. Rhabdovirus mereplikasi diri dalam sitoplasma, transkiptrase virus mentranskripsi lima RNA subgenom yang ditranslasi menjadi lima protein yaitu transkriptase (150 K), Nukleoprotein (50-62 K), protein matrix (20-30 K), peplomer glikoprotein (70-80 K) dan protein tidak bersturktur (40-50 K). Pendewasaan virus ini melalui penguncupan menembus membrane (Fenner, 1987). 6,8,23. Rhabdovirus mempunyai masa inkubasi selama 10 hari – 6 bulan namun, biasanya 3-8 minggu (Soeharsono,2002).

Patofisiologi
Virus masuk ke tubuh melalui luka (biasanya dari gigitan hewan buas) atau lewat membrana mucosa, bereplikasi di mycosit; menyebar ke jaringan ikat neuromusculer dan spindle neurotendineal; berjalan ke CNS lewat cairan intraaxonal dengan nervus perifer; menyebar keseluruhan ke CNS; akhirnya menyebar secara sentrifugal dengan motor perifer, sensori, dan neuron. Cara penularan melalui gigitan dan non gigitan (aerogen, transplantasi, kontak dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet atau mukosa). Cakaran oleh kuku hewan penular rabies adalah berbahaya karena binatang menjilati kuku-kukunya. Saliva yang ditempatkan pada permukaan mukosa seperti konjungtiva mungkin infeksius. Ekskreta kelelawar yang mengandung virus rabies cukup untuk menimbulkan bahaya rabies pada mereka yang masuk gua yang terinfeksi dan menghirup aerosol yang diciptakan oleh kelelawar. Penularan rabies melalui transplan kornea dari penderita dengan ensefalitis rabies yang tidak didiagnosis pada resipen/penerima sehat telah direkam dengan cukup sering. Penularan dari orang ke orang secara teoritis mungkin tetapi kurang terdokumentasi dan jarang terjadi.
Luka gigitan biasanya merupakan tempat masuk virus melalui saliva, virus tidak bisa masuk melalui kulit utuh. Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Bagian otak yang terserang adalah medulla oblongata dan annon’s hoorn. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus ini menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh dan berkembang biak dalam jaringan- jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal dan sebagainya. Gambaran yang paling menonjol dalam infeksi rabies adalah terdapatnya badan negri yang khas yang terdapat dalam sitoplasma sel ganglion besar.6,8,17,23

Masa Inkubasi
Masa inkubasi rabies pada anjing 10 – 15 hari, dan pada hewan lain 3-6 minggu kadang-kadang berlangsung sangat panjang 1-2 tahun. Masa inkubasi pada manusia yang khas adalah 1-2 bulan tetapi bisa 1 minggu atau selama beberapa tahun (mungkin 6 tahun atau lebih). Biasanya lebih cepat pada anak-anak dari pada dewasa. Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi yang panjang (2 sampai 7 tahun) telah dilaporkan, tetapi jarang terjadi. Masa inkubasi bisa tergantung pada umur pasien, latar belakang genetik, status immun, strain virus yang terlibat, dan jarak yang harus ditempuh virus dari titik pintu masuknya ke susunan saraf pusat. Masa inkubasi tergantung dari lamanya pergerakan virus dari luka sampai ke otak, pada gigitan dikaki masa inkubasi kira-kira 60 hari, pada gigitan di tangan masa inkubasi 40 hari, pada gigitan di kepala masa inkubasi kira-kira 30 hari.13


Gejala Klinis Rabies Pada Hewan Dan Manusia

Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga stadium :
1.      Stadium Prodromal
Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat berlangsung antara 2-3 hari. Pada tahap ini akan terlihat adanya perubahan temperamen yang masih ringan. Hewan mulai mencari tempat-tempat yang dingin/gelap, menyendiri, reflek kornea berkurang, pupil melebar dan hewan terlihat acuh terhadap tuannya. Hewan menjadi sangat perasa, mudah terkejut dan cepat berontak bila ada provokasi. Dalam keadaan ini perubahan perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu badan.
2.      Stadium Eksitasi
Tahap eksitasi berlangsung lebih lama daripada tahap prodromal, bahkan dapat berlangsung selama 3-7 hari. Hewan mulai garang, menyerang hewan lain ataupun manusia yang dijumpai dan hipersalivasi. Dalam keadaan tidak ada provokasi hewan menjadi murung terkesan lelah dan selalu tampak seperti ketakutan. Hewan mengalami fotopobi atau takut melihat sinar sehingga bila ada cahaya akan bereaksi secara berlebihan dan tampak ketakutan.
3.      Stadium Paralisis.
Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga sulit untuk dikenali atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Hewan mengalami kesulitan menelan, suara parau, sempoyongan, akhirnya lumpuh dan mati.
Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium.
1.      Stadium Prodromal
Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat adalah perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.
2.      Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap ransangan sensoris.
3.      Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu merintih sebelum kesadaran hilang. Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak nyaman dan ketidak beraturan. Kebingungan menjadi semakin hebat dan berkembang menjadi argresif, halusinasi, dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku kejang.
4.      Stadium Paralis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.2,17,20,21,23,24

Epidemiologi Rabies

Rabies telah menyebabkan kematian pada orang dalam jumlah yang cukup banyak. Tahun 2000, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun di dunia ini terdapat sekurang-kurangnya 50.000 orang meninggal karena rabies. Rabies bisa terjadi disetiap musim atau iklim, dan kepekaan terhadap rabies kelihatannya tidak berkaitan dengan usia, seks atau ras. Di Amerika Serikat rabies terutama terjadi pada musang, raccoon, serigala dan kelelawar. Rabies serigala terdapat di Kanada, Alaska dan New York. Kelelawar penghisap darah (vampir), yang menggigit ternak merupakan bagian penting siklus rabies di Amerika latin. Eropa mempunyai rabies serigala, di Asia dan Afrika masalah utamanya adalah anjing gila.20
Beberapa daerah di Indonesia yang saat ini masih tertular rabies sebanyak 16 propinsi, meliputi Pulau Sumatera (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung), Pulau Sulawesi (Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara), Pulau Kalimantan (Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur) dan Pulau Flores. Kasus terakhir yang terjadi adalah Propinsi Maluku (Kota Ambon dan Pulau Seram). 5,10,11,12,16 Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat telah dinyatakan bebas dari rabies melalui SK Menteri Pertanian No. 566 Tahun 2004, Banten sejak tahun 1996, dan provinsi Jawa Barat sejak tahun 2001. Dengan diterbitkannya SK Mentan bebas rabies ini, maka seluruh pulau Jawa telah bebas rabies karena Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta telah lebih dahulu dibebaskan berdasarkan SK Mentan No. 897 Tahun 1997.8
Manusia yang menderita rabies selalu berakhir dengan kematian (100% Case Fatality Rate), gigitan oleh anjing menempati persentase tertinggi (99,4%) diikuti kucing (0,29%) dan hewan lain, kera dan hewan piaraan atau liar lainnya (0,31%). Bagian tubuh manusia yang digigit meliputi kepala (5%), tangan (28%), kaki(57%), lain-lain (10%).18

Kejadian Rabies di Lapangan
Kejadian (kasus) positif rabies di lapangan dipengaruhi oleh
1)      Pola Penggigitan
Ada 2 pola penggigitan oleh anjing terhadap manusia yaitu :
a. Penggigitan karena provokasi
Penggigitan yang terjadi disini didahului oleh adanya gangguan langsung atau tidak langsung. Pada anjing yang sedang beranak biasanya naluri untuk melindungi anaknya sangat kuat sehingga sangat mudah sekali anjing menyerang dan menggigit apalagi kalau diganggu. Bentuk-bentuk provokasi terhadap anjing sangat beragam dari mulai memukul, menyeret ekor sampai dengan menggoda anjing yang sedang tidur. Hal tersebut akan menstimulasi anjing untuk menggigit. Bahkan pada kejadian lain orang membawa makanan yang lewat didepan anjing yang sedang lapar dapat memicu terjadinya penggigitan.
b. Penggigitan tanpa provokasi
Dalam hal ini anjing menyerang dan menggigit secara tiba-tiba tanpa adanya gangguan dalam bentuk apapun. Dilapangan anjing yang menggigit secara tiba-tiba tadi biasanya sudah menjadi ”wandering-dog” atau anjing lontang-lantung yang berjalan tanpa tujuan dan menyerang serta menggigit siapa saja yang ditemuinya. Anjing tersebut biasanya adalah anjing liar atau anjing peliharaan yang ditelantarkan sehingga menjadi liar.10
2)      Pola Penyebaran
Penularan rabies di lapangan (rural rabies) berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan ciri khas yang ada di perdesaan yang berkembang dan sulit dikendalikan. Suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah endemis. Secara alami yang sering terjadi pola penyebaran rabies. Pada umumnya manusia merupakan ”dead end” atau terminal akhir dari korban gigitan. Karena sampai saat ini belum ada kasus manusia menggigit anjing. Baik anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar maupun anjing peliharaan, setiap saat dapat menggigit manusia. Sementara itu anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar dapat menggigit satu sama lain. Kalau salah satu diantara anjing yang menggigit tersebut positif rabies, maka akan terjadi kasus-kasus positif (+) rabies yang semakin tinggi.21
3)      Pembagian Status Daerah Rabies
1. Daerah Bebas
Kriterianya :
-      Daerah yang secara historis tidak pernah ditemukan penyakit rabies.
-            Daerah yang tertular rabies tapi dalam 2 tahun terakhir tidak ada kasus secara klinis dan epidemiologis serta sudah dikonfirmasi secara laboratoris. 9,10,11,12
2. Daerah Tertular
Kriterianya :
-      Daerah yang dalam 2 tahun terakhir pernah ada kasus pada hewan dan  manusia (baik secara berurutan atau tunggal) secara klinis epidemiologis dan dikonfirmasi secara laboratoris. Khusus untuk manusia kasusnya berasal dari daerah tersebut (bukan kasus import)
3. Daerah Tersangka
Kriterianya :
-      Daerah yang dalam 2 tahun terakhir ada kasus rabies secara klinis dan epidemiologis tapi belum dibuktikan secara laboratoris.
-            Daerah yang berbatasan langsung dalam satu daratan dengan daerah tertular.9,10,11,12

Pencegahan dan Pengendalian Rabies
A.  Pencegahan Primer Rabies
a)                  Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies.
b)                  Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk tanpa izin ke daerah bebas rabies.
c)                  Dilarang melakukan vaksinasi atau memasukkan vaksin rabies kedaerah-daerah bebas rabies.
d)                  Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70% populasi yang ada dalam jarak minimum 10 km disekitar lokasi kasus.
e)                  Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing, kucing yang telah divaksinasi.
f)                   Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak bertuan dengan jalan pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan.
g)                  Anjing peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran, harus didaftarkan ke Kantor Kepala Desa/Kelurahan atau Petugas Dinas Peternakan setempat.
h)                  Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari 2 meter. Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus diikat dengan rantai tidak lebih dari 2 meter dan moncongnya harus menggunakan berangus (beronsong).
i)                    Menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka menderita rabies, selama 10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang mati selama observasi atau yang dibunuh, maka harus diambil spesimen untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk diagnosa.
j)                    Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies.
k)                  Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies sekurang-kurangnya 1 meter.1,9, 11,12,18,19
B.                 Pencegahan Sekunder
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan untuk meminimalkan resiko tertularnya rabies adalah mencuci luka gigitan dengan sabun atau dengan deterjen selama 5-10 menit dibawah air mengalir/diguyur. Kemudian luka diberi alkohol 70% atau Yodium tincture. Setelah itu pergi secepatnya ke Puskesmas atau Dokter yang terdekat untuk mendapatkan pengobatan sementara sambil menunggu hasil dari rumah observasi hewan. Resiko yang dihadapi oleh orang yang mengidap rabies sangat besar. Oleh karena itu, setiap orang digigit oleh hewan tersangka rabies atau digigit oleh anjing di daerah endemic rabies harus sedini mungkin mendapat pertolongan setelah terjadinya gigitan sampai dapat dibuktikan bahwa tidak benar adanya infeksi rabies.11,12
C.                 Pencegahan Tersier
Tujuan dari tiga tahapan pencegahan adalah membatasi atau menghalangi perkembangan ketidakmampuan, kondisi, atau gangguan sehingga tidak berkembang ke tahap lanjut yang membutuhkan perawatan intensif yang mencakup pembatasan terhadap ketidakmampuan dengan menyediakan rehabilitasi. Apabila hewan yang dimaksud ternyata menderita rabies berdasarkan pemeriksaan klinis atau laboratorium dari Dinas Perternakan, maka orang yang digigit atau dijilat tersebut harus segera mendapatkan pengobatan khusus (Pasteur Treatment) di Unit Kesehatan yang mempunyai fasilitas pengobatan Anti Rabies dengan lengkap.

Pengendalian
a.                   Aturan Perundangan
Upaya pencegaan dan pengendalian rabies telah dilakukan sejak lama, di Indonesia dilaksanakan melalui kegiatan terpadu secara lintas sektoral antara lain dengan adanya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yaitu Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, dan Menteri Dalam Negeri No: 279A/MenKes/SK/VIII/1978; No: 522/Kpts/Um/8/78; dan No: 143/tahun1978. Penerapan aturan perundangan ini perlu ditegakkan, agar pelaksanaan di lapangan lebih efektif dan secara tegas memberikan otoritas kepada pelaksana untuk melakukan kewajibannya sesuai dengan aturan perundangan yang ada, baik tingkat nasional, tingkat kawasaan, maupun tingkat lokal.9,11,12
b.                  Surveilans
Pelaksanaan surveilans untuk rabies merupakan dasar dari semua program dalam rangka pengendalian penyakit ini. Data epidemiologi harus dikumpulkan sebaik mungkin, dianalisis, dipetakan, dan bila mungkin segera didistribusikan secepat mungkin. Informasi ini juga penting untuk dasar perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan program pengendalian.9,11,12
c.                   Vaksinasi Rabies
Untuk mencegah terjadinya penularan rabies, maka anjing, kucing, atau kera dapat diberi vaksin inaktif atau yang dilemahkan (attenuated). Untuk memperoleh kualitas vaksin yang efektif dan efisien, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, baik vaksin yang digunakan bagi hewan maupun bagi manusia, yakni :
·      Vaksin harus dijamin aman dalam pemakaian.
·      Vaksin harus memiliki potensi daya lindung yang tinggi.
·      Vaksin harus mampu memberikan perlindungan kekebalan yang lama.
·      Vaksin harus mudah dalam cara aplikasinya.
·      Vaksin harus stabil dan menghasilkan waktu kadaluwarsa yang lama.
·      Vaksin harus selalu tersedia dan mudah didapat sewaktu-waktu dibutuhkan. 7,9,12,14,15,18
Kesimpulan
Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus, bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat. Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan CFR (Case Fatality Rate) 100%.
Cara penularan melalui gigitan dan non gigitan (aerogen, transplantasi, kontak dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet atau mukosa). Cakaran oleh kuku hewan penular rabies adalah berbahaya karena binatang menjilati kuku-kukunya.
Pencegahan dan pengendalian rabies dapat dilakukan dengan menjaga jarak antara hewan peliharaan yang dapat menyebabkan rabies dengan manusia sehingga dapat memutuskan kejadian rabies di Indonesia dan Dunia.

DAFTAR PUSTAKA
1.             Anonimus(1). 2010. Rabies di Indonesia : Usulan Tindakan Pengendalian ; http://kafeungu.blogspot.com/2009/11/rabies-di-indonesia-usulan-tindakan.html
2.             Anonimus(2).2010. Penyakit Rabies; http://id.shvoong.com/exact-sciences/veterinary/2027648-rabies/
3.             Anonimus(3). 2010. Artikel Pets Animals Penyakit Rabies; http://www.vet-klinik.com/pets-Animals/Penyakit-rabies.html
4.             Anonimus(5).2010. Penyakit Anjing Gila (Rabies), Sumber : Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Kodya Jakarta Pusat; http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-11437.html
5.             Anonimus(6).2010. 24 Provinsi Endemik Rabies; Kompas;
6.             Anonimus(7).2010. Anjing Gila, Pengertian, Sejarah, Penyebab, Cara Mengatasi;http://ridwanaz.com/kesehatan/anjing-gila-pengertian-sejarah-penyebab-cara-mengatasi 
7.             Anonimus(8).2010. Rabies Ancam DKI, Ribuan Hewan Divaksinasi;
8.             Anonimus (7) Rabies ; http://id.wikipedia.org/wiki/Rabies/
9.             Anonimus (8), 2004. Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Seri Penyakit Rabies. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. DepartemenPertanian.
10.         Anonimus (9). 2006. Evaluasi Program Pembebasan Rabies di Pulau Sumatera. Makalah Pertemuan Tim Koordinasi Rabies Se Sumatera di Bengkulu. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian.
11.         Anonimus (10). 2006. Situasi dan Kebijakan Program Pembebasan Rabies di Indonesia. Makalah Pertemuan Tim Koordinasi Rabies Se-Sumatera di Bengkulu. Ditjen PP & PL. DepartemenKesehatan.
12.         Ditjen PPMPL Depkes RI. 2002. Petunjuk perencanaan dan Penatalaksanaan kasus gigitan Hewan tersangka / rabies Di indonesia
13.         J. Frank, Fenner. 1987. Veterinary Virologi. [ D. K. Harya Putra, K. G. Suaryana]. Semarang: IKIP Semarang Press. 257:279
14.         Maharis R., Natih K.K.N., soedijar r. L., Hermawan D., dan Nuryani N. 2007. Pengkajian Mutu Vaksin Rabies di 12 Propinsi di Indonesia. Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan No. I 2. Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan.
15.         Moedijono G.M. 1996. Vaksin Anti Rabies, Potensi, Imunitas dan Evaluasi Hasil Vaksinasi di Lapangan. Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan No. 5.
16.         Menuju Sumatra Bebas Rabies Tahun 2015; http://www.bkpcilegon.com/cetak.php?id=50
17.         OIE; 2007; OIE Procedure for Validation and Certification of Diagnostic Assay
18.         Pengobatan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan;
19.         Perda Nomor 11 DKI Jakarta Tahun 1995 tentang Pengawasan Hewan Rentan Rabies, Serta Pencegahan dan Penaggulangan Rabies di Daerah Khusus Ibukota Jakarta
20.         Smith, Jean S; 1996; New Aspects of Rabies with Emphasis on Epidemiology, Diagnosis and Prevention of the Disease in the United States; Clinical Microbiology Reviews Vol. 9, No.2.
21.         Soeharsono. 2002. Zoonosis. Jogjakarta: Kanisius. 67:72
22.         Sudomo, Agung; Kusuma, Megasari; Maryuni, Vivi. IPB. 2009. Program Kreativitas Mahasiswa. Pemanfaatan Habbatus Sauda Untuk Terapi Penunjang Pencegah Rabies Pada Anjing
23.         Schnurrenberger, R. Paul.1991. An Outline of the Zoonoses.Alabama: The Iowa State University Press. 60:63
24.         Tizard, Ian. 1988. Immunologi Veteriner Ed. 2. Surabaya: Penerbit Universitas Airlangga. 203:206, 224:232