Penulis: Zata Ismah | Editor: Rini Septiani
Adakah dari teman-teman yang pernah melihat
labortorium NAMRU-2 ketika melintas di JL. Percetakan Negara No.26, Salemba?
Gedung tersebut bercat putih betingkat dua dan persis bersebelahan dinding dengan Balitbangkes.
Mungkin warga di lingkungan sekitar sana pun tidak menyadari keberadaan laboratorium NAMRU-2 di sana.
Apa itu NAMRU-2? Mari kita bahas bersama-sama.
NAMRU-2 adalah singkatan dari Naval Medical Research Unit-2. NAMRU-2 adalah laboratorium milik angkatan
Laut Amerika Serikat yang menjadi tempat penyimpanan berbagai virus di seluruh Indonesia. NAMRU-2 memiliki tingkat keamanan
yang sangat tinggi
yang hampir sama dengan kantor Kedutaan Besar AS, bahkan
keamanannya lebih ketat daripada Balitbangkes.
Singkat cerita, pada tahun 1970, laboratorium
ini didirikan dengan kerjasama Departemen Kesehatan RI dalam bidang pengembangan sumber daya manusia,
pembangunan kelembagaan dan penelitian, serta pengawasan penyakit menular. Kini
kerjasama tersebut telah berakhir pada tahun 2005 dan diperpanjang pada Januari 2006
dengan masa satu tahun. Sekarang aktifitas NAMRU-2 dihentikan, karena belum ada kesepakatan baru dengan Indonesia.
Pada tahun 2005,
Indonesia dilanda KLB flu burung. Virus ini pertama kali muncul di Spanyol pada tahun 1918-1919 dengan jenis H1N1. Virus ini kemudian
lenyap tanpa bisa terdeteksi selama beberapa tahun hingga timbul kembali pada tahun
2003 di Asia.
Pada saat itu, Indonesia diwajibkan mengirim sampel virus ke
WHO CC di Hongkong demi kepentingan penentuan diagnosis. Namun, tanpa sepengetahuan Indonesia, sampel tersebut diberikan ke perusahaan pembuat
vaksin di negara maju. Dalam media massa Australia, The
Age dalam Buku NAMRU, Nando Baskara: 71 menyatakan bahwa
sampel virus tersebut telah dikirimkan oleh WHO ke laboratorium senjata biologi
Los Alamos Laboratorium di bawah kewenangan kementerian Energi AS, yang dahulu merancang bom Atom Hiroshima. Akan tetapi
hal ini dibantah oleh juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, bahwa sampel
tersebut tidak ada di laboratorium tersebut.
Menteri Kesehatan RI pada saat itu,
Siti Fadilah, memberikan komentar bahwa mereka mencari
keuntungan dari penyebaran Flu Burung dengan menjual vaksin. Negara-negara maju
menindas negara kita lewat WTO, freeport dan lain-lain. Hal ini berkaca pada kejadian kecolongan
virus small pox pada tahun 1974, di mana Indonesia telah dinyatakan
bebas cacar. Pada tahun 1984, WHO datang memusnahkan
virus cacar sekaligus laboratoriumnya di Biofarma, Bandung sehingga Indonesia
tidak memiliki virus cacar. Pada tahun 2003, WHO mengumumkan keberadaan senjata biologi dari virus cacar, sehingga seluruh dunia harus membeli
vaksin yang berasal
dari perusahaan Amerika yang harganya
bisa mencapai 600 miliar.
Mekanisme yang tidak transparan ini membuat Menteri Kesehatan menghentikan pengiriman spesimen ke
laboratorium WHO.
Selanjutnya, pemeriksaan cukup dilakukan di dalam
negeri, yaitu di
laboratorium Balitbangkes dan laboratorium Eijkman.
Selama ini sistem pengiriman sampel dilakukan melalui Global
Influenza Surveilance Netwrok (GISN) yang berada
di bawah yuridis pemerintah AS, tetapi masih dalam naungan
WHO. Atas nama GISN,
mereka mengambil semua virus dari negara asal dan membawanya ke laboratorium AS, salah satunya laboratorium senjata biologi Los
Alamos. Di
laboratorium ini, virus dibuat menjadi senjata biologi dan vaksin, kemudian dijual lagi ke negara miskin.
Indonesia menyadari hal tersebut setelah kejadian
pengiriman 58 sampel virus flu burung ke WHO, namun
akhirnya hilang entah kemana. Berkat perjuangan Indonesia, kini pihak AS menerima usulan pembubaran GISN
tersebut. Indonesia mengajukan sistem baru yang lebih transparan, setara dan
adil, yaitu Influenza
Surveilans Network (WIN). WIN ini berlaku sistem Material Transefer Agreement (MTA). Negara tempat virus yang telah diambil akan mengetahui penggunaan virus dan mendapat Benefit sharing yang adil dari negara
yang mengambil virus. Pembuatan vaksin harus melibatkan negara pengirim, sedangkan
untuk senjata biologi, negara pemilik harus
punya hak veto untuk menolak. Namun sayangnya,
pihak AS dan Indonesia belum mencapai kesepakatan mengenai MTA dan berbagi
sampel.
Lalu bagaimana dengan NAMRU-2 yang berada di dalam
negeri? Pemerintah RI menilai NAMRU-2 bekerja tidak transparan. Hal ini berkaca
pada tanggal 25 Agustus 2004,
pada saat Indonesia dihadapkan bencana nasional sepeti Demam berdarah. Saat itu NAMRU-2 tidak melakukan penelitian. NAMRU-2 justru mengalami peningkatan kesibukan, seperti impor barang keperluan riset. Selama 30 tahun percobaan, NAMRU-2
membuat vaksin malaria, DBD dan Hepatitis E di Papua. Namun tidak ada
transparansi kinerja mereka dan bersikap tertutup.
Kerjasama NAMRU-2 dengan Indonesia
kembali dilanjutkan kembali setelah merebaknya
flu burung. Selain meneliti spesimen pasien terduga infeksi, NAMRU-2 juga membantu pemerintah mengirimkan sampel virus ke
laboratorium Center for Diases Contol
Prevention (CDC) di Atlanta AS dan
laboratorium kolaborasi WHO di Hongkong.
Penelitian terhadap virus adalah tugas NAMRU. Namun laboratorium ini
berada di bawah militer Angkatan Laut AS. Sejak tahun 2000 NAMRU beroperasi
tanpa nota kesepahaman dan persetujuan apapun.
Pada Desember 2005,
kontrak kerja sama telah berakhir. Namun NAMRU-2 masih beroperasi. Kemudian aktifitas
laboratorium ini berakhir setelah Indonesia mengedarkan surat pelarangan
operasi yang ditandatangani oleh kepala Balitbangkes, yaitu Dr. Triyono. Kemudian
RumahS di seluruh
Indonesia dilarang mengirimkan virus pada NAMRU-2 yang bertujuan untuk menghindari eksploitasi virus dari negara pembuat
vaksin.
Referensi:
Nando, Baskara. 2008. NAMRU: Misi Kesehatan atau Jaringan Intelejen Amerika?. Jogjakarta: NARASI.
0 comments:
Post a Comment