Wednesday, September 18, 2013

Penulis: Zata Ismah | Editor: Rini Septiani

Adakah dari teman-teman yang pernah melihat labortorium NAMRU-2 ketika melintas di JL. Percetakan Negara No.26, Salemba? Gedung tersebut bercat putih betingkat dua dan persis bersebelahan dinding dengan Balitbangkes. Mungkin warga di lingkungan sekitar sana pun tidak menyadari keberadaan laboratorium NAMRU-2 di sana. Apa itu NAMRU-2? Mari kita bahas bersama-sama.

NAMRU-2 adalah singkatan dari Naval Medical Research Unit-2. NAMRU-2 adalah laboratorium milik angkatan Laut Amerika Serikat yang menjadi tempat penyimpanan berbagai virus di seluruh Indonesia. NAMRU-2 memiliki tingkat keamanan yang sangat tinggi yang hampir sama dengan kantor Kedutaan Besar AS, bahkan keamanannya lebih ketat daripada Balitbangkes.

Singkat cerita, pada tahun 1970, laboratorium ini didirikan dengan kerjasama Departemen Kesehatan RI dalam bidang pengembangan sumber daya manusia, pembangunan kelembagaan dan penelitian, serta pengawasan penyakit menular. Kini kerjasama tersebut telah berakhir pada  tahun 2005 dan diperpanjang pada Januari 2006 dengan masa satu tahun. Sekarang aktifitas NAMRU-2 dihentikan, karena belum ada kesepakatan baru dengan Indonesia.

Pada tahun 2005, Indonesia dilanda KLB flu burung. Virus ini pertama kali muncul di Spanyol pada tahun 1918-1919 dengan jenis H1N1. Virus ini kemudian lenyap tanpa bisa terdeteksi selama beberapa tahun hingga timbul kembali pada tahun 2003 di Asia.

Pada saat itu, Indonesia diwajibkan mengirim sampel virus ke WHO CC di Hongkong demi kepentingan penentuan diagnosis. Namun, tanpa sepengetahuan Indonesia, sampel tersebut diberikan ke perusahaan pembuat vaksin di negara maju. Dalam media massa Australia, The Age dalam Buku NAMRU, Nando Baskara: 71 menyatakan bahwa sampel virus tersebut telah dikirimkan oleh WHO ke laboratorium senjata biologi Los Alamos Laboratorium di bawah kewenangan kementerian Energi AS, yang dahulu merancang bom Atom Hiroshima. Akan tetapi hal ini dibantah oleh juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, bahwa sampel tersebut tidak ada di laboratorium tersebut.

Menteri Kesehatan RI pada saat itu, Siti Fadilah, memberikan komentar bahwa mereka mencari keuntungan dari penyebaran Flu Burung dengan menjual vaksin. Negara-negara maju menindas negara kita lewat WTO, freeport dan lain-lain.  Hal ini berkaca pada kejadian kecolongan virus small pox pada tahun 1974, di mana Indonesia telah dinyatakan bebas cacar. Pada tahun 1984, WHO datang memusnahkan virus cacar sekaligus laboratoriumnya di Biofarma, Bandung sehingga Indonesia tidak memiliki virus cacar. Pada tahun 2003, WHO mengumumkan keberadaan senjata biologi dari virus cacar, sehingga seluruh dunia harus membeli vaksin yang berasal dari perusahaan Amerika yang harganya bisa mencapai 600 miliar.

Mekanisme yang tidak transparan ini membuat Menteri Kesehatan menghentikan pengiriman spesimen ke laboratorium WHO. Selanjutnya, pemeriksaan cukup dilakukan di dalam negeri, yaitu di laboratorium Balitbangkes dan laboratorium Eijkman.

Selama ini sistem pengiriman sampel dilakukan melalui Global Influenza Surveilance Netwrok (GISN)  yang berada di bawah yuridis pemerintah AS, tetapi masih dalam naungan WHO. Atas nama GISN, mereka mengambil semua virus dari negara asal dan membawanya ke laboratorium AS, salah satunya laboratorium senjata biologi Los Alamos. Di laboratorium ini, virus dibuat menjadi senjata biologi dan vaksin, kemudian dijual lagi ke negara miskin.

Indonesia menyadari hal tersebut setelah kejadian pengiriman 58 sampel virus flu burung ke WHO, namun akhirnya hilang entah kemana. Berkat perjuangan Indonesia, kini pihak AS menerima usulan pembubaran GISN tersebut. Indonesia mengajukan sistem baru yang lebih transparan, setara dan adil, yaitu Influenza Surveilans Network (WIN). WIN ini berlaku sistem Material Transefer Agreement (MTA). Negara tempat virus yang telah diambil akan mengetahui penggunaan virus dan mendapat Benefit sharing yang adil dari negara yang mengambil virus. Pembuatan vaksin harus melibatkan negara pengirim, sedangkan untuk senjata biologi, negara pemilik harus punya hak veto untuk menolak. Namun sayangnya, pihak AS dan Indonesia belum mencapai kesepakatan mengenai MTA dan berbagi sampel.

Lalu bagaimana dengan NAMRU-2 yang berada di dalam negeri? Pemerintah RI menilai NAMRU-2 bekerja tidak transparan. Hal ini berkaca pada tanggal 25 Agustus 2004, pada saat Indonesia dihadapkan bencana nasional sepeti Demam berdarah. Saat itu NAMRU-2 tidak melakukan penelitian. NAMRU-2 justru mengalami peningkatan kesibukan, seperti impor barang keperluan riset. Selama 30 tahun percobaan, NAMRU-2 membuat vaksin malaria, DBD dan Hepatitis E di Papua. Namun tidak ada transparansi kinerja mereka dan bersikap tertutup.

Kerjasama NAMRU-2 dengan Indonesia kembali dilanjutkan kembali setelah merebaknya flu burung. Selain meneliti spesimen pasien terduga infeksi, NAMRU-2 juga membantu pemerintah mengirimkan sampel virus ke laboratorium Center for Diases Contol Prevention (CDC) di Atlanta AS dan laboratorium kolaborasi WHO di Hongkong.

Penelitian terhadap virus adalah tugas NAMRU. Namun laboratorium ini berada di bawah militer Angkatan Laut AS. Sejak tahun 2000 NAMRU beroperasi tanpa nota kesepahaman dan persetujuan apapun.

Pada Desember 2005, kontrak kerja sama telah berakhir. Namun NAMRU-2 masih beroperasi. Kemudian aktifitas laboratorium ini berakhir setelah Indonesia mengedarkan surat pelarangan operasi yang ditandatangani oleh kepala Balitbangkes, yaitu Dr. Triyono. Kemudian RumahS di seluruh Indonesia dilarang mengirimkan virus pada NAMRU-2 yang bertujuan untuk menghindari eksploitasi virus dari negara pembuat vaksin.

Referensi:
Nando, Baskara. 2008. NAMRU: Misi Kesehatan atau Jaringan Intelejen Amerika?. Jogjakarta: NARASI.

Tagged:

0 comments:

Post a Comment